Jumat, 30 November 2012

DEWOKRASI DALAM PRESPEKTIF ISLAM


BAB I
                                                               PENDAHULUAN               

A.    Latar Belakang Masalah
Demokrasi telah di kenal sejak abad ke-5 masehi sebagai respons terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani kuno, namun ide-ide demokrasi modern baru berkembang pada abad ke-16 Masehi, yakni tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang di perkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). ide-ide tersebut merupakan respons terhadap monarki absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan gereja (teokrasi).[1]
            Demokrasi sebagaimana didefinisikan oleh Lincoln, adalah pemerintahan dari rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi mengandaikan masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, ekskutif, dan yudikatif. Dalam konsep politik, demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengan konsep politik, atau konsep sosial tertentu, seperti konsep persamaan di hadapan di undang-undang, kebebasan berkepercayaan dan akidah, keadilan sosial, jaminan atas hak-hak tertentu, seperti hak hidup, berkebebasan, dan bekerja, serta sejenisnya.
Bila difahami secara tekstual maka demokrasi adalah kekuasaan yang tidak terbatas, karena rakyat yang punya kepentingan dan rakyat pulalah yang akan melaksanakan di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu filsuf kenamaan seperti Jean Jacques Rousseau menyempurnakan konsep demokrasi ini dengan teori demokrasi perwakilan, di mana rakyat menitipkan hak dan kewajibannya melalui wakil-wakilnya yang duduk baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sistem perwakilan inilah yang kemudian dikembangkan menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima dalam dunia politik kontemporer.
Pemikiran demokrasi ini merupakan reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa pada saat itu. Pemikiran penyerahan diri ini menyatakan bahwa para raja menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Tuhan. Dengan demikian, para raja mempunyai kekuasaan mutlak dalam kehidupan politik, bahan sampai kekuasaan yang tidak terbatas. Wajarlah bila paham kedaulatan rakyat saat itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja atas dasar perwakilan Tuhan.
Umat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa reserve, sementara yang lain, justru bersikap ekstrem. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi. 
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka kami penulis mencoba merumuskan beberapa masalah, diantaranya:
·         Apakah Al Qur’an berbicara tentang demokrasi?
·         Apakah demokrasi memiliki kelemahan dalam perspektif Al-Qur’an?
·         Bagaimana oposisi dalam perspektif demokrasi (Qur’ani)?

BAB II
PEMBAHASAN

DEMOKRASI DALAM SUDUT PANDANG AL QUR’AN


A. Memaknai Demokrasi Dalam Islam
Bagi Islam, secara umum demokrasi adalah konsepsi netral yang bisa berarti positif dan negatif. kenegatifannya manakala konsep tersebut mengabdi pada imperialisme barat dan disatu sisi dipaksakan pada dunia timur. Sementara aspek positifnya, konsep demokrasi mampu menumbangkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan negara komunis di penghujung abad yang lampau. Para pakar politik, terutama di kalangan negara-negara islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara islam dan demokrasi. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang menekankan pada hak-hak dan kewajiban rakyat, dan keseimbangan antara rakyat dan negara. Sementara Islam sangat menghargai esistensi kemanusiaan.
Praktek demokrasi sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman Rasulullah hidup bersama masyarakat kota Madinah. Peristiwa Baitul Aqabah I dan II, Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh utusan dari Madinah.
 Begitu juga tentang ketaatan rakyat kepada pemerintahannya secara prinsip diatur dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Dalam QS. Annisa: 59, menyatakan “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah swt, tatatilah Rasul-Nya, dan para pemimpin di antara kamu”. Ayat ini memberikan konsep ketaatan rakyat kepada pemerintah sejajar dengan ketaatan dalam beribadah. Begitu pentingnya ayat-ayat politik ini sehingga dibutuhkan penalaran yang jernih dalam menangkap makna yang tersirat dalam berbagai teks Al Qur'an di kalangan umat islam, terdapat 3 pola pemahaman relasi islam dan politik;
Ø  Pola integralistik, di mana kelompok ini memahami bahwa islam mengatur secara detail persoalan sosial kemasyarakatan, termasuk persoalan politik kenegaraan.
Ø  Pola sekularistik di mana islam dan politik adalah sesuatu yang berbeda, sehingga agama mengurusi hal-hal yang ukhrowi, sementafa politik hany berdimensi transcendental.
Ø  Pola fakultatif, yakni pemahaman yang sangat moderat dan realistik. Faham ini menyadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), namun Al Qur'an tidak memberikan aturan detail perihal suatu macam ibadah. Konsekwensinya, urusan detail tentang persoalan muamalah termasuk politik diserahkan secara teknis sesuai dengan situasi dan kondisi.
Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memposisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya.
1.      Prinsip Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku, di antaranya:
• Kebebasan berbicara setiap warga negara.
• Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
• Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
• Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
• Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
• Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
2.      Pandangan Ulama tentang Demokrasi:
Dalam hal ini ada pro dan kontra dari kalangan ulama’ dalam memandang demokrasi apakah sejalan dengan Al Qur’an ataukah malah haram karena tidak sesuai dengan syari’at.
a.      Demokrasi Tidak Menyalahi Syari’at
Adapun yang berpendapat bahwa demokrasi tidak menyalahi syari’at, diantaranya sebagai berikut:
1. Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
2. Muhammad Iqbal
Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
- Tauhid sebagai landasan asasi.
- Kepatuhan pada hukum.
- Toleransi sesama warga.
- Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
- Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
3. Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:
v  Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
v  Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
v   Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
v  Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
4. Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut:
·         Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
·         Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
·         Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
·         Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu illahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
- Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
- Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
- Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
b. Demokrasi Sistem Kufur
Sesungguhnya demokrasi saat ini mengalami deviasi makna. Tiap negara memiliki pemahaman sendiri. Demokratis di sebuah negara belum tentu demokratis di negara lain. Kaum muslimin yang mengharamkan demokrasi memahaminya sebagai bentuk pemerintahan rakyat dengan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Adapun di dalam Islam, kedaulatan tertinggi di tangan Allah Swt, bukan manusia.
1.      Memahami Demokrasi Dalam Pembuatan Hukum
Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demikian slogan yang sangat terkenal dari Benjamin Franklin tentang definisi demokrasi. Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal :
1. Hak Membuat Hukum (legislasi).
2. Hak Memilih Penguasa.
Untuk lebih mudahnya, kami akan jelaskan diawal bahwa kewenangan rakyat untuk ‘Membuat Hukum’ yang bertentangan dengan islam adalah haram dan besifat ushul (mendasar). Sedangkan dalam sistem memilih penguasa/ kepala negara hal tersebut masih dapat didiskusikan…. dan bersifat furu’ (cabang). Karena juga banyak dalil yang membolehkan untuk masuk dan mengelola pemerintahan untuk menjalankan syariat islam.
Mengapa demokrasi kufur? Demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat) yang boleh jadi itu bertentangan dengan hukum Allah. Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan rakyat tersebut sangat jelas, sebab menurut Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia. Firman Allah SWT (artinya) : “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’aam : 57). Walaupun ayat tersebut bersifat umum, tapi itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Pada titik itulah, demokrasi disebut sebagai sistem kufur. Sebab sudah jelas, memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum yang bertentangan dengan hukum syara’ adalah suatu kekufuran. Firman Allah SWT (artinya) : “Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al-Maa`idah : 44)
Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Jadi kita sebagai muslim yang beriman hendaknya sami’na wa atha’na pada perintah Allah dan Rasul-Nya, kita tidak boleh berhukum pada hukum selain Allah SWT . QS. Ali Imron ( 3 ): 85 , QS. An Nisa ( 4 ): 60,65, QS. Al Maidah ( 5 ): 44,47,48,50, QS. Al-Hasyr: 7 . Demokrasi Haram untuk: diambil, diterapkan, dan di dakwahkan.
2.      Tidak Ada Demokrasi Islam
            Banyak orang apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa agama Islam adalah agama demokrasi. Dan Islam mengajarkan kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara dengan asas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan syura/permusyawaratan.
            Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan yang amat mendasar. Berikut beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman mengenai sama tidaknya antara demokrasi dengan syura.
Prinsip-prinsip Musyawarah
1. Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya. Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah :
”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.”
 (QS. Al Ahzab: 36)
Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qurfan atau As Sunnah. Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al Qurfan atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut. Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang, bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian, komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai pemimpin dll.
2. Kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya. Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.
            Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.
            Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang keputusan beliau: “Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri Nabi), aku tetap akan meneruskan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].
            Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”[2]
            Penjelasan Imam As Syafii ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Taala:
Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.”
 (QS. Asy-Syura: 10)
            Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya. Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi, dan Islam bukan agama demokrasi.
3. Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura ialah para pemuka masyarakat, ulama dan pakar di setiap bidang keilmuan.
Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing.
Dalam menentukan sebuah kesepakatan (Musyawarah) ada 2 hal yang keduanya harus dibedakan:
1. Bila yang dimusyawarahkan itu berkaitan dengan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukum / nash syara’nya, maka dalam hal ini pendapat manusia adalah dilarang. Tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ada bid’ah sedikitpun. Manusia hanya boleh bermusyawarah tentang teknis pelaksanaanya saja. Sebagai contoh bila dalam musyawarah itu akan dibahas masalah status minuman kemaksiatan, maka dalam hal ini tidak boleh ada pendapat manusia yang mendukung. Sebab statusnya sudah jelas Haram, yang perlu dimusyawarakan adalah masalah uslub (teknis) pelarangannya dilapangan, misalnya siapa bagian operasi sweping di toko-toko minuman, siapa bagian memburu produsennya, siapa yang menghukum pelakunya dll.
2. Bila yang dimusyawarahkan itu berkaitan dengan masalah Uslub (Teknis) maka boleh pendapat manusia diminta. Dalam hal ini ada 2 macam
a. Uslub (Teknis) yang mencakup bidang keahlian khusus, maka yang diambil pendapat (yang diajak musyawarah) hanya pendapat orang yang ahli tentang masalah itu. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw pada waktu menentukan strategi di Perang Badar Al Kubra, Beliau berpendapat untuk memenangkan pertempuran pasukan harus menguasai tempat tertentu, tetapi kemudian ada seorang shahabat (Khubab bin Mundhir) yang menanyakan kepada beliau apakah hal ini pendapat beliau ataukah wahyu dari Allah. Bila wahyu maka tidak akan dibantah, tetapi bila hal ini pendapat nabi, maka Khubab mengusulkan untuk menempati sebuah wadi (oase) di medan Badar. Rasulullah kemudian menjelaskan ini bahwa hal ini adalah pendapat beliau pribadi, dan kemudian beliau menarik pendapatnya dan kemudian menerima pendapat Khubab sebab Khubab adalah orang yang tinggal di daerah tersebut dan merupakan orang yang paling kenal dengan medan pertempuran, seraya mengabaikan pendapat pribadi dan pendapat shahabat-shahabat yang lain.
b. Teknis yang mencakup hal-hal yang diketahui oleh orang banyak, maka dalam hal ini pendapat mayoritas-lah yang dipakai. Kita dapat mengambil ibroh dari kisah terjadinya perang Uhud. Rasulullah sebenarnya menginginkan pasukan bertahan di dalam kota, akan tetapi mayoritas shahabat (terutama shahabat-shahabat yang usianya masih muda) memilih menunggu musuh di luar kota Madinah. Karena suara mayoritas menghendaki menunggu musuh di luar kota, maka Rasulpun memutuskan untuk menunggu musuh di luar kota, walaupun beliau sendiri menginginkan di dalam kota. Bertahan dalam kota atau menunggu musuh di luar kota adalah masalah-masalah teknis (strategi) pertempuran yang diketahui oleh banyak orang, karena semua shahabat adalah penduduk kota Medinah,yang mengerti seluk beluk kota Medinah. Jadi masalah betahan di dalam kota atau menunggu musuh di luar kota bukan masalah wahyu yang sudah dinash. Maka dari sinilah kita bisa mengambil ibroh bahwa dalam masalah-masalah urusan teknis yang telah diketahui banyak orang, maka boleh diambil suara terbanyak.
Rasul tidak pernah menentukan secara jelas bagaimanakah teknis memilih khalifah/pemimpin negara. Begitu juga peralihan kekuasaan dari satu khalifah ke khalifah yang lain semasa banyak sahabat masih hidup, sehingga menjadi Ijma’ shahabat bahwa boleh menggunakan beberapa uslub untuk memilih khalifah atau kepala negara. Dengan demikian dalam memilih siapakah calon kepala negara/Khalifah boleh dengan banyak teknis dalam hal ini mengambil suara mayoritas juga dapat dilakukan dan menggunakan Ahlul hali wal aqdi (parlemen) juga dapat dilakukan.
Di dalam istilah Islam, ada ahli syura yang tergabung dalam ahlul halli wal aqdi sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kepada merekalah aspirasi umat disalurkan, lalu dimusyawarahkan untuk dijalankan penguasa. Imam Ibnu Katsir mengemukakan di dalam tafsirnya dengan mengutip riwayat dari Ibnu Mardawaih dari Ali Ra bahwa ia pernah ditanya tentang maksud azam pada ayat, ”Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian jika kamu telah ber-azam, bertawakkal-lah kepada Allah”. (QS Ali Imran:159).
            Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek kemaksiatannya.
            Dalam sistem demokrasi yang meyakini bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka mereka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang mempunyai program seperti “tong sampah”. Apa saja diadakan, yang penting dapat dukungan.
            Slogan demokratisasi ternyata mengandung muatan kepentingan negara besar pengemban ideologi kufur sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan dan wajah manis yang disajikan di hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Karenanya, waspadalah dalam mensikapi berbagai slogan dan propaganda serta aktivitas kaum imperialis di dunia Islam. Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya:
“Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka lebih besar” (QS. Ali Imran[3]:118)
Samakah demokrasi dengan syura (musyawarah)?
Jawab: Sama sekali tidak sama karena beberapa sebab:
1. Syura adalah hukum Allah .Sedangkan demokrasi adalah ciptaan manusia kafir,musyrik dan jahil.
2. Syura ditegakkan demi kemaslahatan umat yang diputuskan oleh ahlul hilli wal aqdi, yang terdiri daripada para ulama pewaris para Nabi. Sedangkan demokrasi ditegakkan demi kekuasaan dan kefanatikan terhadap golongan yang diputuskan oleh orang-orang kafir, musyrikin, ahli maksiat, laki-laki maupun perempuan meskipun di parlemen itu terdapat kaum muslimin bahkan ahli agama.
3. Ahli syura didalam Islam tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, dan tidak mengatakan yang haq itu batil atau yang batil itu haq. Keadaan ini 100% menyalahi para pengikut demokrasi yang telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan mengatakan yang haq itu batil atau mengatakan yang batil itu haq. (buktinya di indonesia para pezina tidak dihukum, begitu juga pemabuk, dll, karena para anggota DPR sebagai pembuat hukum telah mengizinkan berbagai kemaksiatan itu)
4. Syura didalam Islam jarang terjadi dan hanya didalam beberapa urusan yang musykil (sukar diputuskan atau dipahami). Adapun didalam perkara-perkara yang telah ada ketetapannya dari Allah dan rasulnya, maka tidak diadakan Syura, sedangkan demokrasi diletakkan sebagai kuasa yang mengatur seluruh kehidupan berdasarkan undang-undang yang telah dibuat, sehingga manusia yang hidup disatu negeri dengan sistem demokrasi tidak boleh keluar atau bertentangan dengan undang-undang tersebut.
Maka, kenapa kita harus Golput? Diantara alasannya adalah sebagai berikut:
1. Tidak boleh semajelis dengan kaum kuffar (QS. 4:140)
2. Tidak boleh bermusyawarah dengan yang tidak seidiologi islam (QS. 42;38, 3;159)
3. Tidak boleh mengikuti / memilih kepemimpinan yang kufur (QS. 5:55, 5:50, 9:23, 60:1)
4. Harus mencontoh Rasulullah (QS. 33:21), sementara Rasulullah tidak mencontohkan masuk berparlemen dalam darun nadwah Quraisy
5. Harus berbaroah (berlepas diri) dari sistem kuffur (QS. 60: 4)
6. Tidak boleh Taawun dalam ismun dan udwan
7. Tidak boleh tasyabbuh pada kaum kuffar

Kesimpulan:
Ada beberapa pola dalam pemahaman tentang demokrasi. Pola pertama memberikan penekanan pada makna skripturalistik (tektualis), sehingga banyak menimbulkan gagasan formalisasi politik Islam seperti khilafah dan imamah. Sedangkan pola kedua lebih menitik beratkan pada kekuatan makna substantif sehingga muncul pemisahan diametral antara Islam dan politik. Sementara pola ketiga inilah yang banyak dianut umat Islam Indonesia, sehingga ketika memaknai demokrasi secara formal tidak ada dalam Islam, namun nilai-nilai demokrasi dapat difahami dari ayat-ayat politik dalam al-Qur'an.

DAFTAR PUSTAKA


Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, Intelektual 1999.
Madjid, Nurcholish. “Kata Pengantar” dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
Setiawan, Nur Kholis. Akar-akar Pemikiran progresif dalam kajian Al Qur’an, Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008.
…..Pendidikan Kewarganegaraan, Pokja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
http://muslim.or.id
"http://dear.to/abusalma"
"http://www.abusalma.wordpress.com


[1] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 19999), hal.71-72.

[2] Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342

**KULIAH FIQH DAN USHUL FIQH BPK MUNAWAR KHALIL

1 komentar:

  1. Produsen dan pengedar miras di negara demokrasi ini sejak JAman DahULu hingga Sekarang masih dibolehkan beroperasi. Sampai kapan yaa?? #mikir #Islam

    BalasHapus