BAB I
Pendahuluan
Ada beberapa pendekatan masalah yang digunakan manusia untuk
memahami, mengelola dan menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan
terebutadalah , pendekatan objektif dan pendekatan subjektif. Pendekatan
subjektif atau pendekatan ilmiah (saintifik) diterapkan dalam penelitian yang
sistematik, terkontrol,empiris, dan kritis atas hipotesis. Dalam konteks ini,
pendekatan itu disebut “objektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek,
prilaku-prilaku, dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia “nyata” yang
diamati oleh panca indra ,diukur, dan diramalkan.
Bagi seorang
ilmuan penguasaan pendekatan ilmiah merupakan suatu keharusan dan bahkan mutlak
perlu, karena tanpa pendekatan ilmiah tidak akan dapat melaksanakan kegiatan ilmiah,
sehingga mudah bagi seorang ilmuan untuk
mengembangkanmateri pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah.
Oleh karena
itulah pendekatan ilmiah penting untuk mengetahui seberapa jauh penalaran kita
terhadap hal-hal yang jelas dan objektif.Yang pada makalah ini akan di bahas
pendekatan ilmiah positivistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
August Comte atau juga Auguste
Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 – meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun) adalah seorang
ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapaksosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama yang
mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Comte lahir di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara
Perancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya diPoliteknik École di Paris. Politeknik École saat itu terkenal dengan
kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik tersebut ditutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan École dan melanjutkan
pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier.
Tak lama kemudian, ia melihat sebuah perbedaan yang
mencolok antara agama Katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa
meninggalkan Paris.
Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekertaris
dari Claude Henri
de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang
kemudian membawa Comte masuk ke dalam lingkungan intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia
merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya.
Saat itu, Comte mengetahui apa yang ia harus lakukan
selanjutnya: meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques
nécessaires pour réorganiser la société (1822) (Indonesia: Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis
sehingga menghambat penelitiannya. Kehidupan dan penelitiannya kemudian mulai
bergantung pada sponsor dan bantuan finansial dari beberapa temannya.[1]
B. Pengertian
Dan Pendekatan Positivistik.
Positivisme
berasal dari kata “positif” yang artinya faktuual, sesuatu yang berdasar fakta
atau kenyataan, menurut positivism, pengetahuan kita tidak boleh melebihi
fakta-fakta yang ada, sehingga dalam bidang pengetahuan, ilmu pengetahuan
empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.[2] Kesamaan positifistik dengan emirisme seperti
yang terjadi di inggris didalam hal ini, bahwa keduanya sama-sama mengutamakan
pengalaman, sedangkan perbedaanya adalah positivisme hanya membatasi pada
pengalaman-pengalaman obyektif semata, akan tetapi empirisme menggunakan juga
pengalaman-pengalaman batiniah (subyektif), selain pengalaman-pengalaman
obyektif.[3]
Positivisme
sekarang merupakan suatu istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan
aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Dan umumnya
positifisme menjabarkan peryataan-pernyataan faktual pada suatu landasan
pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivisme merupakan suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai sumber pengetahuan
yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik.[4]
Pendekatan non-positivistik lebih
menggunakan penalaran deduktif(rasionalis) dengan penelitian apriori. Bidang
yang dikaji adalah ilmu pasti (metafisika dan silogisme)dan persoalan metafisis
Berbeda dengan pendekatan non-positivistik pendekatan positivistik
mengandalkan kemampuan yang bersifat empiris.Pada pendekatan ini manusia
dituntut untuk menggunakan penalaran yang bersifat induktif,baik berupa
eksperimen,observasi dan komparasi. Penelitian ini bertitik pangkal pada
data-data partikular yang kemudian rasiolah yang akan
menafsirkannya(aposteriori).Positivistik adalah filsafat yang menyatakan
keutamaan observasi dalam menilai kebenaran pernyataan atau fakta dan
berpendapat bahwa argumentasi metafisik dan subjektif yang tidak didasarkan
pada data yang dapat diamati adalah tidak bermakna.
Penganut filsafat positivistik berpendapat bahwa keberadaan sesuatu
merupakan besaran yang dapat diukur.Peneliti adalah pengamat yang objektif atas
peristiwa yang terjadi di dunia.Mereka percaya bahwa variable yang mereka
teliti, merupakan suatu yang telah ada di dunia.Hubungan antara variable yang
mereka temukan, telah ada sebelumnya untuk dapat diungkapkan.Pengetahuan
merupakan pernyataan atas fakta atau keyakinan yang dapat diuji secara empiric.
C. Positivististik Ausust Comte.
Munculnya aliran filsafat positivisme ini dipelopori oleh seorang filsuf
yang bernama August Comte (1798 – 1875), seorang filosof yang
lahir di Montpellier Perancis. Comte jugalah yang menciptakan
istilah ”sosiologi” sebagai disiplin ilmu yang mengkaji masyarakat
secara ilmiah. Mulai abad 20-an sampai dengan saat ini, aliran positivisme
mampu mendominasi wacana ilmu pengetahuan. Aliran ini menetapkan
kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam untuk
dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar, yaitu berdasarkan
kriteria-kriteriaeksplanatoris dan prediktif.
Untuk dapat memenuhi kriteria-kriteria dimaksud, maka semua ilmu harus
mempunyai pandangan dunia positivistik, yaitu :
1. Objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai
2. Fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya bicara tentang semesta yang teramati.Substansi
metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan
disingkirkan.
3. Reduksionisme.Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang
dapat diamatidan
4. Naturalisme. Alam semesta adalah obyek-obyek yang bergerak
secara mekanis seperti bekerjanya jam.[5]
Positivisme
diperkenalkan oleh Auguste Comte(1798-1857) dalam buku utamanya yang berjudul Cours
de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang filsafat
positif (1830-1842)yang diterbitkan dalam enam jilid.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu
keseluruhan organik yang kenyataanya lebih daripada sekedar jumlah
bagia-bagian yang saling bergantung ,tetapi untuk mengerti kenyataan ini,metode
penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa nasyarakat adalah
suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.Comte melihat
perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu
proses kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu
lainya.kemajuan ini mencakup kemajuan teologis purba,penjelasan metafisik,dan
akhirnya sampai terbentuknya hukum-hkum ilmiah yang positif.
Penganut
paham positivisme meyakini bahwa hanya da sedikit perbedaan (jika ada )antara
ilmu sosial dan ilmu alam,karena masyarakat dan kehidupan sosial
berdasarkan aturan-aturan,demikian juga alam.
D. Tahapan Perkembangan Cara Berpikir Positivistik.
Ada tiga tahapan/tingkatan cara berfikir positivistik yaitu: tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan
tingkatan Positif
1.
Tingkatan Teologi (Etat
Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal
yang berkaitan dengan sebab akibat.Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat
dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah.
Pada tahap pemikiran ini terdapat tiga tahap lagi yakni
a.
Tahap primitif : ketika orang
menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme).
b.
Tahap pertengahan : Tahap yang
menganggap adanya kekuatan adikodrati, sehingga tiap kawasan mempunyai
dewa-dewa tersendiri (politeisme).
c.
Tahap tertinggi ; yakni tahap yang mengganti
dengan satu tokoh kekuatan tertinggi (monoteisme).
2.
Tingkatan Metafisik (Etat
Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari
cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam.
3.
Tingkatan Positif (Etat
Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup
untuk menguasai alam.
Hukum tiga zaman atau tiga tahapan ini tidak hanya
berlaku pada perkembangan rohani seluruh umat, tapi juga berlaku tiap orang
sendiri-sendiri. Misalnya : pada kanak-kanak merupakan tahapan teolog, pemuda
merupakan tahapan metafisikus, dn dewasa merupakan tahapan positifikus.
Selkain itu hukum ini juga berlaku di bidang ilmu
pengetahuan itu sendiri, yakni segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh
teolog, dan setelah itu dikeruhkan oleh
pemikiran metafisis, dan terakhir di cerahkan oleh hukum-hukum positif pada
zaman positifisme yang cerah.[6]
E. Masalah Positifistik.
Jawaban
dalam sejarah filsafat pengetahuan sampai saat ini tidak seragam, salahsatu
jawaban yang mendominasi dunia intelektual, pada puncak zaman moden ini adalah
zaman pencerahan positivisme dengan tokohnya yakni august comte, mereka ingin
menerapkan metode-metode penelitian ilmu-ilmu alam pada selurug wilayah
kenyataan termasuk kenyataan sosial.
Lalu apayang
dimaksud penerapan metode itu?, sebelumnya kita harus memahami pengandaian
dasar dari penelitian ilmu- ilmu alam :
1.
Seorang ahli fisika, biologi,
ataupun kimia, mengamati suatu imu di dalam laboratorium dengan sikap berjarak,
sebagai obyek belaka, dan mengambil sikap distansi penuh.
2.
Dan dengan distansi penuh maka ia mengerti
bahwa hal tersebut bersih dari unsur-unsur subyektif.
3.
Dengan begitu ia dapat memanipulasi obyek dalm
eksperimen dengan model sebab-akibat.
4.
Hasil dari merupakan pengetahuan
hukum-hukum yang niscaya. Misal : jika air dipanaskan 1000 maka air
itu akan mendidih.
5.
Teori yang dihasilkan merupakan
pengetahuan yang bebas dari kepentingan dan dapat diterapkan secara universal.
Semua pengandaian tersebut oleh positifisme sekarang diterapkan di dalam
kenyataan ilmu sosial, dan ilmu yang dihasilkan sebagai potret tentang fakta
sosial. Dan dapat dipakai oleh siapa saja, karena bersifat universal. Sehingga
ilmu sosial bertujuan untuk meramalkan dan mengendalikan proses-proses sosial,
sesuai dengan semboyan comte “ savoir pour prevoir” (mengetahui untuk
meramalkan). Dengan cara ini, ilmu-ilmu sosial dapat membantu terciptanya
susunan masyarakat yang rasional.[7]
F. C.Metode Serta Contoh Positivistik
Metode yang sering digunakan dalam pendekatan positivistik adalah:
Metode siklus empiri (L-H-V) untuk ilmu alam.Misalnya tekanan udara dan pengukuranya,ilmu falak
dan system matahari,ilmu kedokteran dan lain-lain.
Metode linier untuk
ilmu sosial dan humanistik.
dan tentunya memakai sarana berfikir induktif dengan menggunakan logika dan
statistika
Contohnya dalam memakai metode
siklus empiri (L-H-V) yang menekankan pendekatan positivistik ini untuk ilmu
alam yaitu pada Pemuaian.Pemuaian adalah bertambahnya ukuran suatu benda karena
pengaruh perubahan suhu atau bertambahnya ukuran suatu benda karena menerima
kalor.Pemuaian terjadi pada 3 zat yaitu pemuaian pada zat padat, pada zat cair,
dan pada zat gas.Pemuaian pada zat padat ada 3 jenis yaitu pemuaian panjang
(untuk satu dimensi), pemuaian luas (dua dimensi) dan pemuaian volume (untuk
tiga dimensi).Sedangkan pada zat cair dan zat gas hanya terjadi pemuaian volume
saja.
Pemuaian panjang adalah bertambahnya ukuran panjang suatu benda karena menerima kalor. Pada
pemuaian panjang nilai lebar dan tebal sangat kecil dibandingkan dengan nilai
panjang benda tersebut.Sehingga lebar dan tebal dianggap tidak ada.Contoh benda
yang hanya mengalami pemuaian panjang saja adalah kawat kecil yang panjang
sekali.Pemuaian panjang suatu benda dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
panjang awal benda, koefisien muai panjang dan besar perubahan suhu.Koefisien
muai panjang suatu benda sendiri dipengaruhi oleh jenis benda atau jenis bahan.
Contoh yang lain adalah Jika emas dipanaskan akan
memuai,Tembaga dipanaskan akan memuai,Perak dipanaskan akan memuai.maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa jika logam dipanaskan pasti akan memuai.
Sementara contoh pendekatan positivistik yang memakai Metode linier dapat
dicontohkan pada kasus yang pernah terjadi di Sragen, Jateng. Polisi menilang
pengemudi yang nomor mobilnya ditulis dalam sobekan kertas karton, padahal
pengemudi berniat baik setelah pelat nomor asli hilang beberapa saat
sebelumnya. Dari pendekatan positivisme, pemasangan nomor polisi terbuat dari
kertas karton itu salah dan si pengemudi tersebut ditilang.[8]
G. Pengaruh positivistik.
Pengaruh filsafat comte yang
terbesar adalah terdapat di inggris, seluruh keadaan inggris, baik yang
mengenai watak maupun yang mengenai cara berpikir orag inggris, seolah-olah mewujudkan
persiapan yang baik bagi penaburan filsafat comte.
Jalan pemikiran orang inggris, sejak
abad pertengahan hingga hume dikuasai oleh empirisme dan orang inggris juga
tidak suka akan metafisis. Jadi seluruh perhatiannya dicurahkan kepada hal-hal
yang nyata, yang dihadapi sehari-hari.
Selain dari pada hal-hal yang
terdapat diatas, pada abad ke-19 inggris memang mengalami zaman tenang.
Revolusi kemasyarakatan telah dibelakanginya, sehingga tidak ada ketegangan
politik seperti di daratan eropa. Di inggris terdapat kesinambungan kontinuitas
dalam pemikiran abad ke-18 dan ke-19. Dengan demikian pemikiran comte tumbuh
subur di inggris.[9]
H.
Kritik Atas Positivisme.
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi
yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses
dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan
bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar
tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi
kedalam sistem fisika”.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.[10]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulannya adalah bahwa pendekatan positivistik mengandalkan kemampuan
yang bersifat empiris.Pada pendekatan ini manusia dituntut untuk menggunakan
penalaran yang bersifat induktif,baik berupa eksperimen,observasi dan
komparasi. Penelitian ini bertitik pangkal pada data-data partikular yang
kemudian rasiolah yang akan menafsirkannya(aposteriori).Positivistik adalah
filsafat yang menyatakan keutamaan observasi dalam menilai kebenaran pernyataan
atau fakta dan berpendapat bahwa argumentasi metafisik dan subjektif yang tidak
didasarkan pada data yang dapat diamati adalah tidak bermakna.
Untuk dapat memenuhi
kriteria-kriteria,eksplanatoris dan prediktif. maka
semua ilmu harus mempunyai pandangan dunia positivistik, yaitu :
1)Objektif. Teori-teori tentang semesta
haruslah bebas nilai
2)Fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya
bicara tentang semesta yang teramati.Substansi metafisis yang diandaikan berada
di belakang gejala-gejala penampakan disingkirkan 3) Reduksionisme.Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang
dapat diamatidan 4) Naturalisme. Alam semesta adalah obyek-obyek
yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam
Selain itu terdapat juga tiga tahapan/tingkatan cara berfikir positivistik yaitu: tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan
tingkatan Positif : Tingkatan Teologi, Tingkatan Metafisik ,Tingkatan
Positif.
DAFTAR
PUSTAKA :
Drs.Atang Abdul Hakim,M.A dan Drs.Beni Saebani,M.Si, 2008. Filsafat Umum
Dari Metologi Sampai Teofilosofi, Bandung: Pustaka Setia
Dr.
Harun hadiwijoyo,1985, sari sejarah filsafat barat 2, yogyakarta :
kanisius
Bagus,
lorens, 2002, kamus filsafat, jakarta : gramedia
F.
Budi hardiman, 2003, melampui
positivisme dan modernitas. Yogyakarta ; kanisius
http://sabanhukum.blogspot.com/2012/03/makalah-pendekatan-positivistik_20.html diakses pada tanggal 29,
oktober, 2012
http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism diakses pada tanggal 29,
oktober, 2012
[2] Drs.Atang Abdul
Hakim,M.A dan Drs.Beni Saebani,M.Si, Filsafat Umum Dari Metologi Sampai
Teofilosofi, cetakan ke-1,Bandung: Pustaka Setia,2008 halaman 296
[3] Dr.
Harun hadiwijoyo, sari sejarah filsafat barat 2, yogyakarta : kanisius,
halaman : 110
[4] Bagus,
lorens , kamus filsafat, jakarta : gramedia, halaman 858
[5] Ibid,
halaman
296-297
[6] Ibid
halaman : 111
[7] F. Budi
hardiman, melampui positivisme dan modernitas. Yogyakarta ; kanisius,
halaman 22-23.
[9] Ibid,
halaman : 113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar