Jender dan
Wacana Keagamaan
Munawwar
Khalil
Memerangi
ketidakadilan – termasuk ketidakadilan jender – sepanjang sejarah kemanusiaan
selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap
pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa yang akan datang. Sejarah
manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan
teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem
kemasyarakatan umat manusia.
Dari
berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut,terdapat satu analisis yang
mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin.
Analisis yang dimaksud adalah analisis jender.
Tugas
utama analisis jender adalah memberi
makna, konsepsi, asumsi, ideologi, dan praktik relasi baru antara kaum
perempuan dan laki-laki serta implikasinya terhadap aspek kehidupan lainnya
yang lebih luas.Wacana keadilan jender[1]
atau pola relasi yang adil dan demokratis terutama yang berkaitan dengan
hak-hak perempuan telah muncul sebagai masalah yang penting untuk
diperbincangkan, termasuk dalam diskursus agama.
Dengan
analisis jender ini, para mufassir feminis "mengutak-atik " ayat-ayat
yang berkaitan dengan relasi jender melalui pra-konsepsi tertentu yang
memposisikan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pra-konsepsi ini bukannya
muncul begitu saja, melainkan dirunut dari berbagai ayat al-Qur'an sendiri yang
memang dinilai tidak membedakan posisi laki-laki dan perempuan . Para mufassir
feminis sepakat bahwa al-Qur'an diwahyukan sebagai sarana Islam untuk
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang bermartabat.
Bagi
ahli tafsir feminis, sangat perlu dilakukan kajian kritis dan reinterpretasi
kembali terhadap teks-teks al-Qur'an dan hadits. Sebab teks-teks itu kebanyakan
hanya ditafsirkan oleh kaum laki-laki, sehingga sangat mungkin akan terjadi bias
patriarkhi. Posisi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur'an adalah setara (al-musâwah),
bukan subordinat di bawah laki-laki. Al-Qur'an tidak hanya menegaskan bahwa
laki-laki dan perempuan benar-benar setara dalam pandangan Allah tapi juga
bahwa mereka merupakan anggota-anggota dan pelindung satu sama lain. Dengan
kata lain, al-Qur'an tidak menciptakan
hirarki yang menempatkan laki-laki di atas perempuan.
Menurut
Engineer, ada beberapa alasan untuk menunjukkan bahwa posisi laki-laki dan
perempuan dalam agama adalah setara. Pertama, al-Qur'an memberikan
tempat yang sangat terhormat kepada seluruh manusia baik laki-laki maupun
perempuan. Banyak ayat al-Qur'an yang mempertegas hal ini, seperti pernyataan
bahwa perbedaan setiap individu adalah ketaqwaan (QS. Al-Hujurat [49]: 13),
pahala seseorang tergantung amal baiknya (QS. Al-Mu'min [40]: 39-40); (QS.
An-Nisa[4] : 124) dan lain-lain. Kedua, sebagai masalah norma, al-Qur'an
membela prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an
memberikan bagian harta warisan kepada mereka, dari yang sebelumnya tidak
memperoleh bagian, bahkan menjadi harta yang diwariskan (QS.an-Nisa'[4]:23);
membenci tradisi masyarakat Arab saat pewahyuan yang tidak menghargai kelahiran
anak perempuan, atau bahkan membakar mereka hidup-hidup (QS.at-Takwir[81]:9)
dan melarang praktek-praktek semacam itu, baik melalui janji pahala bagi yang
memperlakukan perempuan dengan baik dan mengancam dengan siksa bagi yang
memperlakukan mereka secara tidak adil maupun dengan memberikan hak-hak kepada
perempuan yang sebelumnya diabaikan dalam masyarakat jahiliyah.
Salah
satu ayat al-Qur'an yang sering dikutip
para feminis untuk menguatkan pandangan tentang kesetaraan laki-laki dan
perempuan ini adalah :
إِنَّ
الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ
وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ
وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ
وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ
كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الاحزاب
: 35 )
"
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dengan ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar. "
Ayat di
atas merupakan salah satu dalil yang dipergunakan sebagai keyakinan bahwa Islam
mengajarkan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Namun
dalam ranah yang lain, beberapa keterangan dari al-Qur'an maupun hadits sebagai
sumber hukum Islam melahirkan ragam penafsiran yang bias terhadap keadilan
jender. Berikut ini kami kemukakan beberapa persoalan krusial yang sampai saat
ini masih menjadi perbincangan kalangan umat Islam tentang persoalan jender :
Hawa Tercipta dari Tulang Rusuk Adam (?)
Dalam surah
al-Nisa' ayat 1, Allah berfirman bahwa asal muasal manusia baik lelaki maupun
perempuan tidaklah berbeda yakni dari nafs yang satu (min nafs
wâhidah ).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا
" Wahai
manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang
satu, juga yang darinya diciptakan pasangannya[2],
lalu dari keduanyalah menyebar manusia lelaki maupun perempuan yang sangat
banyak"
Umumnya
ahli tafsir seperti al-Suyuti, al-Baidhawi, Ibnu katsir dan al-Qurtubi
mengartikan nafs dengan Adam. Bahkan seorang mufassir dari kalangan
Syiah mengklaim pendapat itu sebagai ijma' seluruh ulama.[3]
Dengan demikian maka menjadi kokohlah
pandangan yang mensubordinasikan perempuan di bawah laki-laki. Namun kalau kita
perhatikan sekali lagi ayat di atas menggunakan bentuk nakirah/indefinitif
"dari satu diri" (min nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definitif
(min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufîd al-takhshîsh)
lalu diperkuat dengan kata "yang satu" (wâhidah) sebagai sifat
dari min nafsin. Semuanya itu menunjukkan kepada substansi utama ( the first
resources ), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri
sebagai secondary resources. Disamping itu, seandainya yang dimaksud
kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wâhidin dengan
bentuk jender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wâhidah
dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafs[4] masuk kategori mu'annats sebagaimana
beberapa ism' alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat
itu menyalahi bentuk maushuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i,
jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh si pembicara (mukhâtab)[5].
Sedangkan ulama mutakhir seperti Muhammad Abduh dan juga al-Qasimi berpendapat
lain, bahwa yang dimaksud nafs dalam ayat ini bukan Adam, melainkan
berarti jenis.[6]
Implikasinya, karena manusia lelaki dan perempuan diciptakan dari jenis (bahan baku) yang sama, maka kedudukan mereka
pun setara; tidak ada keunggulan apriori yang satu atas lainnya.
Telah
menjadi 'mitos' pula bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Hal itu
bermula dari sebuah cerita yang tercantum dalam Kitab Perjanjian Lama. Dan di
kalangan umat Islam beredar sebuah hadits riwayat Abu Hurairah dengan isi yang
senada :
استوصوا
بالنساء فاء نهن خلقن من ضلع ا عوج
"
Saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka
diciptakan dari tulang rusak yang bengkok "
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini oleh para ulama terdahulu
selalu dipahami secara harfiah. Namun, tidak sedikit ulama mutakhir yang
memahaminya secara metaforis (majâzi), bahkan ada yang menolak kesahihan
hadits tersebut, dengan alasan tidak sesuai dengan ayat al-Nisa' yang
menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari bahan ( nafs, jenis )
yang sama. Rasyid Ridha mengomentari hal ini, " seandainya tidak tercantum
kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama ( Kejadian II:21),
dengan redaksi yang mengarah pada pemahaman hadits secara harfiah, niscaya
pendapat yang salah itu tidak akan pernah terlintas dalam benak orang-orang
Islam."[7]
Sementara
itu yang memahaminya secara metaforis (majazi) berpendapat bahwa pada dasarnya
hadits itu memesankan kepada kita untuk selalu bertindak sebaik dan sebijaksana
mungkin terhadap perempuan. Karena (entah sebab kodrati atau akibat konstruksi
sosial), perempuan tidak begitu saja
bisa diperlakukan atau dipikuli beban, terutama fisik, yang sama beratnya
dengan laki-laki.
Perempuan Tak Boleh Jadi Pemimpin
Dalam
surah al-Nisa' ayat 34 Allah Swt. berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ
عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم…
"
Kaum pria adalah pemimpin dari kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
Dalam
menafsirkan ayat-ayat tersebut, yang mengisyaratkan kelebihan pria atas wanita,
Muhammad Rasyid Ridhâ (1865-1935) cenderung berpendapat bahwa ayat-ayat itu
terutama dimaksudkan sebagai pengaturan hubungan antara pria dan wanita dalam
kehidupan keluarga, hubungan antara pria sebagai suami dan wanita sebagai
isteri serta ibu rumah tangga. Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang
sudah barang tentu memerlukan pimpinan; dan suami, dengan beberapa kelebihan atas perempuan,
termasuk kelebihan fisik dan pencari nafkah untuk keluarga lebih berhak
memegang kepemimpinan keluarga. ( Tetapi tidak berarti bahwa wanita tidak
mempunyai hak sama sekali atas kepemimpinan ). Juga tidak dapat ditafsirkan
bahwa kelebihan pria atas peempuan berakibat bahwa pria dan perempuan tidak
terdapat persamaan, baik kedudukan maupun hak dan kewajiban.
Tetapi
tidak demikian pendapat banyak ilmuan Islam yang lain. Misalnya, Abû'l A'lâ
al-Maûdûdi (1903-1979). Menurutnya, perempuan tidak boleh
mendudukijabatan-jabatan kunci pemerintahan, bahkan termasuk keanggotaan
Majelis Syura atau DPR. Tetapi, pada tahun 1964, sewaktu Fatimah Jinnah,saudara
perempuan Pendiri Pakistan, Mohammad Ali Jannah, mencalonkan diri sebagai
Presiden Pakistan, Al-Maududi tidak hanya memberikan fatwa agar rakyat Pakistan
memilih Fatimah Jinnah, tetapi turut aktif berkampanye untuk adik perempuan
pendiri Pakistan itu. Sikap politik yang tidak sesuai dengan pandangannya
terhadapa perempuan itu kiranya terdorong oleh obsesi al-Maududi menentang
Jenderal Muhammad Ayub Khan,calon lain untuk jabatan Presiden Pakistan.
Disinilah letak kebangkrutan teori politik al-Maududi.
Dalam
Tafsîr Jalâlain, kata qawwâm(ûn) dalam ayat di atas ditafsirkan
sebagai musallith(ûn), yang berarti menguasai atau mensultani.
Dengan tafsir itulah dilahirkan (dibenarkan) pandangan masyarakat bahwa
perempuan (istri) adalah konco wingking, atau sekedar lampiran bagi
suaminya. Semua keputusan ada di tangan lelaki sedangkan perempuan hanya
tinggal mengikuti,melaksanakan-suka atau tidak suka -. Secara bahasa barangkali
bisa saja kata qawwâm diartikan sebagai menguasai. Akan tetapi
mengapakah dua kata yang sama di tempat lain yang tidak bicara soal hubungan
suami-istri - dan memang hanya ada di dua tempat – diartikan qâim(în)
yang berarti penguat atau penopang. Yakni dalam
surah al-Nisa'(4) :135 dan al-Ma'idah(5) : 8.[8]
Kita bisa bertanya, kenapa kata qawwâm(ûn) dalam al-Nisa' : 34
tidak diartikan dengan penopang atau penguat ? sehingga ayat itu artinya "
Kaum lelaki adalah penguat / penopang
kaum perempuan.." Dengan
pengertian seperti ini , maka secara normatif sikap suami kepada istri bukanlah
'menguasai atau mendominasi dan cenderung memaksa ' ' melainkan mendukung dan
mengayomi. Bukankah pengertian ini yang lebih
sesuai dengan prinsip mu'âsyarah bil ma'rûf (QS. Al-Nisa'(4): 19
) dan prinsip saling melindungi ( QS. Al-Baqarah (2) : 187) ?
Poligami
Agama seringkali juga jadi
legitimasi terhadap dibolehkannya poligami. Bahkan ada yang menganggap hal itu
bagian dari sunnah, karena Nabi sendiri konon memiliki isteri sampai sembilan
orang. Ayat yang dipakai sebagai dasar berpoligami ini adalah surah An-Nisa'
ayat 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
" Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu sukai: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian adalah itu lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya."
Ayat
tersebut di atas sering ditafsirkan secara "keliru" oleh kebanyakan
mufassir, untuk tidak mengatakan semuanya. Dalam al-Qur'an maupun dalam
keseharian Nabi Saw. memelihara anak yatim atau anak yang terlantar selalu
mendapat perhatian besar dan dianggap sangat penting. Izin poligami dalam
al-Qur'an sesungguhnya berkaitan erat dengan masalah tersebut. Jika kita mau
membaca tentang ayat poligami tersebut, sebetulnya fokus utamanya adalah
menyantuni ayat yatim. Jadi, yang dimaksud "pernikahan" dalam ayat
itu adalah menikahi ibu anak yatim. Penafsiran ini tidak bisa diragukan lagi,
karena ayat ini turun ketika banyak laki-laki meninggal sehingga banyak janda
dan anak-anak yatim. Oleh sebab itu sebenarnya pesan moral al-Qur'an tentang
masalah ini adalah : 1) agar anak yatim ini dipelihara dan disantuni,2) ayat
ini bicara tentang keadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa poligami
sebenarnya hanya dibolehkan dalam kondisi sulit seperti itu (darurat)[9].
Hal senada juga pernah disampaikan oleh Muhammad Syahrur, seorang pemikir Islam
kontemporer dari Syiria yang cukup kontraversial. tentang poligami ( ta'addudu
az-zawjât ) beliau menyatakan …ta'addudu az-zawjat durûfun idtirâriyyah
wa anna asasa al-'adad fi az-zawâj huwa al-wahdah ( sesungguhnya poligami
itu terkait dengan konteks yang sangat darurat dan pada dasarnya Islam menganut
prinsip monogami ). Syahrur memasukkan persoalan poligami pada wilayah
ayat-ayat hudud. Lebih lanjut, menurut Syahrur meskipun poligami itu boleh,
tapi ada syarat yang sangat penting untuk dipenuhi yaitu sifat adil. Demikian
pula tujuan poligami yang diidealkan al-Qur'an adalah limusâ'adatil arâmil
wa aitam, yaitu untuk membantu para janda dan anak-anak yatim.[10]
Berkaitan dengan poligami Nabi,
menurut Riffat Hassan sebenarnya juga demikian kondisinya. Beliau pertama
menikah dengan Khadijah ketika beliau
usia 25 tahun dan itulah perkawinan yang terpenting bagi beliau. Nabi
tidak menikah lagi sampai umur 50 tahun. Jadi, selama masa suburnya beliau
monogami dan menikah hanya sekali.[11]
Kalau demikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa pernikahan Nabi yang
poligami tersebut bukan untuk memperturutkan nafsu seksnya, tapi lebih pada
penyantunan janda-janda dan anak-anak
yatim. Di samping itu, dalam poligami Nabi ada hikmah yang bersifat edukatif,
psikologis, ekonomis dan bahkan politis.[12]
Sebab, secara logika, jika Nabi lebih menginginkan tuntutan seksnya, mestinya
beliau menikah menikahi gadis-gadis yang
masih muda atau perawan. Tetapi mengapa hal itu tidak dilakukan oleh beliau ?
Kebolehan
Memukul Istri
Bagi
umat Islam al-Qur'an merupakan kitab petunjuk yang menjelaskan bagaimana
seharusnya kita hidup, termasuk dalam hal ini hubungan keluarga. Apa yang
dikatakan al-Qur'an itulah aturan agama. Namun, seringkali karena persoalan
tafsir hingga tercetuslah berbagai pemahaman yang seolah-olah meletakkan Islam
sebagai agama yang membenarkan tindak kekerasan dalam hubungan berumah-tangga.
Salah
satu ayat yang sering distir sebagai petunjuk kebolehan melakukan tindak
kekerasan, khususnya kepada isteri/perempuan adalah surah al-Nisa' ayat 34 :
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Amina
Wadud dengan merujuk kamus Lisanul 'Arab , kata dharaba dalam
ayat tentang kasus nusyuz ( pembangkangan istri kepada suami ) yang
berbunyi fadhribuhunna, tidak harus berarti " memukul " yang
merujuk pada penggunaan paksaan atau kekerasan, sebab kata tersebut memiliki
banyak arti. Kata dharaba, dapat pula berarti " membuat " atau
" memberi contoh ", seperti ayat : Wadharaba Allahu matsalan (
artinya : Dan Allah memberi suatu perumpamaan atau contoh ). Kata dharaba
juga digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu
perjalanan. Bahkan lebih dari itu kata dharaba ada yang bermakna a'radha
'anhu wan sharafa ( berpaling dan meninggalkan untuk pergi), adapula yang
berarti mana'a anhuat-tasharruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak
memberikan harta kepadanya ).[13]
Oleh sebab itu, berdasarkan
makna semantik tersebut, masih ada banyak kemungkinan penafsiran mengenai kata fadhribuhunna
dalam Q.S. an-Nisa' (4) : 34 . Kata fadhribuhunna dapat ditafsirkan
dengan berpalinglah dan tinggalkanlah mereka, janganlah mereka (para istri)
dikasih nafkah atau biaya hidup ( jika mereka terus melakukan nusyuz ).
Inilah salah satu aliran tafsir feminis yang oleh sebagian orang dipandang lebih dapat menghindarkan kekerasan
( fisik atau pemukulan ) dalam keluarga, ketika terjadi disharmoni atau
percekcokan antara suani-istri. Bahkan ada yang
memaknai potongan ayat tersebut dengan, " jika isterimu membangkang
(nusyuz)ajaklah ia jalan-jalan pergi untuk berekreasi, sehingga
pikirannya menjadi cerah dan segar kembali. Setelah itu, niscaya ia akan taat
kepadamu dan kehidupan keluargapun akan
lebih harmonis dan romantis kembali".
Warisan
Tanpa
mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha, memang ada beberapa hal dalam
kitab fikh dinilai telah selesai memenuhi tugas historisnya. Jika kita
konsisiten terhadap kaedah al-hukmu yaduur ma'a al-illah ( hukum
mengikuti perkembangan zamannya ) maka fikih Islam sudah semestinya diadakan
berbagai penyesuaian.
Satu lagi contoh yang membawa kita pada
soal aplikasi hukum Islam terhadap 'eksistensi perempuan' yaitu soal waris.
Porsi seorang anak perempuan dari harta warisan yang sebagaimana ditentukan islam
adalah sepertiga (tsuluts). Seperti yang tercantum dalam ayat 11 surah
al-Nisa' :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
"..porsi
laki-laki adalah seperti porsi dua perempuan.."
Bagaimana kita membaca hukum ayat ini agar bisa relevan dengan dirinya dan
sekaligus relevan dengan kondisi kekinian kita ?
Dalam rangka menjadikannya relevan dengan
dirinya, pertama kita harus meletakkan ayat tersebut dalam konteks sosialnya
yang lebih spesifik, yaitu konteks masyarakat tempat dimana ayat tersebut
turun. Membandingkan dengan realitas sebelumnya, dimana perempuan pada waktu
itu tidak diberi hak mewarisi, bahkan menjadi bagian dari harta yang diwaris. Dari kenyataan itu,
kita tahu bahwa penetapan syariat yang memberikan hak waris kepada kaum
perempuan jelas merupakan suatu keputusan yang sangat revolusioner dan radikal.
Dengan memberikan hak waris kepada keluarga perempuan yang sebelumnya justru
merupakan objek warisan, Islam telah menetapkan sebuah norma bahwa perempuan
dan lelaki, sama-sama sebagai subyek yang mewarisi. Mengenai kuantitas (jumlah)
bagian waris perempuan hanya separo bagian lelaki, kita perlu melihat setting
sosial ekonomi terutama dalam keluarga ketika itu. Yaitu, bahwa beban nafkah
keluarga sepenuhnya merupakan tanggung jawab lelaki. Inilah latar sosial
ekonomi yang di atasnya sistem pewarisan 2:1 diletakkan oleh al-Qur'an di tengah-tengah masyarakat Arab
lima belas abad yang lalu. Namun, masalahnya apakah struktur ekonomi keluarga
dalam masyarakat kita hari ini masih seperti itu ? Pertanyaan ini memerlukan
kajian atau pengamatan sosiologis yang teliti.
Bila pun perubahan struktur sosial ekonomi
dalam sebuah masyarakat telah berubah dan formasi 2:1 tadi dianggap kurang adil
, maka tidak ada halangan bagi kita untuk mengubah ketentuan pewarisan tersebut.
Yang penting, ajaran prinsip (hal yang bersifat qath'i) dalam Islam
tentang 'kemitraan' dan ' keadilan' tetap kita tegakkan. Kerangka analisis ini
berlaku untuk memahami dan memetakan ajaran-ajaran Islam lainnya. Dengan kata
lain, pembagian warisan buat perempuan (yang semula tidak kebagian bahkan jadi
barang warisan) sebanyak separo bagian
lelaki adalah minimal. Artinya, jika dalam kasus-kasus tertentu tuntutan
keadilan menghendaki pembagian lelaki-perempuan bisa sama banyak, atau bahkan
perempuan yang lebih banyak. Sekali lagi yang sangat digaris bawahi oleh Allah
bukanlah angkanya, tetapi semangat keadilan dan kesetaraannya sebagi subyek
yang sama-sama mewarisi, setelah sebelumnya diperlakukan hanya sebagai obyek
yang diwariskan.
Jender yang Berkeadilan
Dari semua uraian di atas, akan membawa
kita kepada pertanyaan sesungguhnya 'perubahan' ini kemana hendak kita arahkan
? Khususnya dalam kehidupan berkeluarga ? Apakah sekedar untuk membalik posisi;
jika selama ini yang berkuasa dan dominan adalah lelaki ( suami ) lalu dengan
gerakan sadar jender ini kita hendak menjadikan perempuan (istri) sebagai
penguasa yang mendominasi lelaki (suami) ?
Sama sekali tidak. Persoalan kita sejak
awal bukan pada 'siapa yang harus
mendominasi dan siapa yang didominasi' .Pada tahap analisis kenyataan
barangkali hal itu penting untuk dilihat. Tapi goal (ghayah) kita
bukan itu. Tujuan fundamental kita adalah menghilangkan dominasi itu sendiri;siapapun
pelakunya, apakah lelaki atau perempuan, di dalam rumah tangga atau masyarakat.
Alasannya sederhana, di dalam dominasi itu ada pengangkangan hak, ada
pengingkaran eksistensi, yakni hak dan eksistensi yang didominasi. Sementara
itu, lelaki maupun perempuan sebagai manusia adalah setara; yang satu tidak
lebih manusia dibanding yang lain. Jika ada perbedaan, bukan karena jenis
kelamin, melainkan karena amalnya. Dengan kata lain 'hubungan yang berkeadilan
' itulah sasaran kita.
Namun banyak orang rancu dan merancukan
antara adil dan sama-serupa. Jika yang satu mencuci, yang lain juga harus
mencuci;jika yang satu bekerja di luar
rumah, yang satunya juga harus demikian. Dan … kalau diteruskan, jika yang satu
menjadi penyerang di depan, yang lainnya juga begitu. Apakah kalau begini
bukannya justeru dapat merusak tatanan itu sendiri. Kalau semua jadi penyerang
tidak ada yang jadi bek atau penjaga gawang, bagaimana jadinya ?
Keadilan seperti dirumuskan oleh Rasulullah
Saw. adalah terpenuhi hak bagi memilikinya
secara sah. Dan hak pada saat yang sama, jika dilihat dari sudut pandang orang
lain, adalah kewajiban. Oleh sebab itu, siapapun yang lebih banyak menunaikan
kewajiban, atau yang memikul kewajiban lebih besar, dialah yang memiliki hak
dibanding yang lain. Akan tetapi, sebagai manusia pada dasarnya bobot hak
mereka tentu sama, dengan demikian bobot kewajibannya pun sama. Dan sebagai
suami istri pun tidak ada pihak yang
secara apriori bisa dibilang lebih berat kewajiban/haknya dari yang lain.
Anggapan bahwa beban suami lebih berat (
beban produksi atau mencari mencari nafkah ) dibandingkan dengan beban isteri
(beban reproduksi : mengandung, melahirkan dan menyusui ) tidak serta merta
bisa kita terima. Anggapan seperti itu sama saja dengan mengatakan 'uang' lebih
berharga ketiombang 'anak/manusia'.
Oleh karena tidak yang bisa dibilang lebih
berbobot hak/kewajibannya dibanding yang lain, maka dalam mengatur dan
menentukan kehidupan mereka berdua
prinsip musyawarah yang harus dijadikan
pegangan. Tidak ada satu keputusan yang secara apriori merupakan merupakan
monopoli salah satu pihak, misalnya suami saja atau istri saja. Partisipasi
kedua belah pihak dalam proses pengambilan keputusan itulah inti dari kehidupan
adil yang kita coba ikhtiarkan. Kesepakatan dalam urusan keluaraga yang diambil
melalui musyawarah yang bebas dan jujur inilah landasan esensial untuk apa yang
kita sebut dengan hubungan/relasi yang berkeadilan , yang satu tidak akan
merendahkan apalagi menafikan keberadaan/eksistensi pihak lain.
Akhirul
kalam,
tolak-ukur kriteria jender yang berkeadilan dapat dijelaskan sebagai berikut : a).
Tidak ada jenis kelamin yang tersubordinasi dari yang lain, b). Tidak ada
marginalisasi terhadap jenis kelamin dengan mengurangi atau menutup kesempatan,
c). Bebas dari stereotype yang sebenarnya hanya mitos, d). Tidak ada
yang menanggung beban lebih berat dari yang lain. Wallahu a'lam bissawâb.
[1] Walaupun
arti jender dan sex dalam kamus sama, yaitu jenis kelamin, tetapi konsep
keduanya di sini dibedakan. Sex merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia
ditentukan secara biologis. Misalnya, laki-laki adalah manusia yang
memiliki penis, jakun, dan memproduksi
sperma, sementara perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi
seperti rahim, memproduksi telur (ovum). Sex bersifat kodrati. Berbeda dengan
jender. Jender bersifat konstruksi sosial budaya, yaitu sifat yang melekat pada
kaum lelaki dan perempuan yang dibangun oleh interaksi sosial. Misalnya,
perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sementara laki-laki
itu kuat, rasional, jantan dan perkasa. Mansour Fakih, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial ( Yogyakarta : Pustaka Pelajat,1996), hal.7-9. Juga
Mansour Fakih, " Isu-Isu dan Manifestasi Ketidakadilan Gender" dalam
Mukhotib MD (ed.), Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender ( Yogyakarta :
PMII,1998 ),hal. 3-4. Bandingkan dengan Julia Cleves Mosse, Gender dan
Pembangunan ( Yogyakarta:Pustaka pelajar,1996 ), 2-5.
[2]Terjemahan
Departemen Agama RI mengartikan kata zauj dengan " isterinya "
padahal kata zauj dalam bahasa Arab tidak mesti berarti isteri dan tidak
mesti memakai huruf ta
marbutah ( zaujah )sebagai simbol perempuan ( muannats) untuk
menunjukkan makna isteri , karena yang ditekankan pada ayat ini adalah pasangan
(pair ), seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berpasang-pasangan
(QS. Thâhâ/20:53 dan al-Syûrâ/42:11). Lagipula kata ganti (dhamîr) yang
merujuk ke Adam semuanya menggunakan dhamîr mudzakkar;di
antaranya paling tegas ialah uskun anta wa zaujukal jannah
(QS.al-Baqarah/2:35). Kata uskun sudah cukup mengisyaratkan Adam sebagai
mudzakkar tetapi diperkuat (ta'kîd) dengan kata anta, kata
ganti untuk orang pertama tunggal laki-laki.
[3] Lihat,
Dr. Quraish Shihab, " Konsep Wanita menurut al-Qur'an, Hadits, dan
Sumber-Sumber Ajaran Islam", dalam Lies Marcos dan J.H. Meulleman (ed.), Wanita
Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, INIS, Jakarta,
1993,hal.4.
[4] Menarik
untuk dicermati, mengapa bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an,
beberapa benda alam atau nama-nama benda yang menakjubkan seperti matahari (al-syams),
langit (al-samâ'), angin (al-rîh) tanah, bumi (al-ardl)
jiwa (al-nafs), dan lain
sebagainya dikategorikan dalam bentuk (bahasa) perempuan (mu'annats) ?
Boleh jadi ini berkaitan dengan mitologi
Mesir Kuno dan Asia Tengah pada umumnya yang menganut faham The Mother God.
Bulan (al-qomar) misalnya, dianggap sebagai " Ibu Alam Semesta "
( The Mother of Universe ) karena mempunyai cahaya yang membawa
kesuburan dan sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup.
Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, masih banyak menganggap bulan sebagai dewi
yang sangat berpengaruh, dan menurut Owen, dari sinilah sebabnya mengapa umat
Islam sejak awal sampai sekarang menjadikan bulan sebagai simbol dan sabit
menjadi semacam lambang " Palang Merah " dunia Islam. ( Lihat Barbara
Walker, The Women's Eincyclopedia of Myths and Sacrets, San fransisco,
Harper & Row, 1983,h.669. Lihat pula Lara Owen, Her Blood is gold,
Celebrating the power of Menstruation, San Fransisco: Harper San Fransisco,
1993,h. 30-31.
[5] Misalnya
dalam QS. Al-A'râf/7:56 (In-na rahmat-a-'l-Lâh-i-qarîb-un minal-muhsinîn),
mestinya dikatakan qarîbah sebagai sifat dari rahmah yang
berbentuk mu'annats, akan tetapi karena shifat men-shifat-i
hakekat maushûf yakni al-ihsân yang berbentuk mudzakkar
maka shifat pun harus mudzakkar lalu digunakan kata qarîb.
[8] Jalal
al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi, Tafsîr al-Qur'an al-Azhîm,Dâr
al-Fikr, Beirut, 1981. hal. 96 dan 89.
[9] Riffat Hassan dalam
Ulumul Qur'an Vol II, Feminisme dan Al - Qur'an, Percakapan dengan Riffat
Hassan, hal. 86-87.
[10] Muhammad Syahrur, al-Qur'an
wal Kitaab Qira'ah Mu'âsirah ( Damaskus : al-Ahalili ath-Thibaa'h wa
an-Nasyr 1993), hal. 597-599.
[12] Lihat
uraian selanjutnya Muhammad Ali as-Shabuni, Rawâi'u al-Bayân Tafsir Ayat
al-Ahkâm min al-Qur'an, jilid II ( Beirut : Dâr al-Fikr,tth), hal.
316-324.
**KULIAH
FIQH DAN USHUL FIQH BPAK MUNAWAR KHALIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar