Jumat, 30 November 2012

INTELEGENSI


INTELIGENSI
Pengertian
Inteligensi memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada konteks budaya/lingkungan. Stenberg meneliti konsep inteligensi menurut orang awam adalah kemampuan problem solving, kemampuan verbal dan kompetensi sosial. Pengertian yang diambil oleh para psikolog: inteligensi adalah kemampuan untuk memahami dunia sekitar, berpikir rasional, dan menggunakan sumber daya secara efektif ketika menghadapi tantangan (Wechsler, 1975). Ini adalah definisi yang paling sering digunakan.

Pendekatan
Untuk memahami hakekat inteligensi, perlu memahami pendekatan umum:
  1. Pendekatan belajar
pendekatan ini lebih menekankan pada perilaku yang tampak. Bahwa inteligensi bukan sifat kepribadian tetapi merupakan kualitas hasil belajar. Perilaku yang inteligen adalah yang berisi proses belajar pada level fungsional tingkat tinggi
  1. Pendekatan biologi
inteligensi memiliki dasar anatomis dan biologis. Perilaku yang dapat ditelusuri dari dasar-dasar neuro-anatomis dan proses neurofisiologisnya. Misal membandingkan otak orang biasa dengan otak orang cerdas. Hasilnya ditemukan bahwa ada “brain efficiency”, yaitu otak yang efisien memiliki banyak asosiasi antara neuron satu dengan yang lain, mengalami pemangkasan pada cabang-cabang neuron yang tidak diperlukan, aksonnya lebih besar dan myelin yang melapisinya lebih tebal
  1. Pendekatan psikometri
inteligensi merupakan suatu konstruk hipotetis. Misal inteligensi dirumuskan sebagai kemampuan umum terutama yang berkaitan dengan ingatan dan penalaran dalam mempelajari dan menghadapi masalah baru. Pendekatan ini melahirkan tes-tes psikologi sehingga lebih bersifat kuantitatif
  1. Pendekatan perkembangan
pendekatan perkembangan lebih menekankan perkembangan inteligensi secara kualitatif dalam kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu. Tokohnya antara lain Piaget yang melihat adanya perbedaan kualitatif dalam cara berpikir anak pada masing-masing kelompok usia.
Ke-empat pendekatan di atas tidak terpisah secara eksklusif akan tetapi saling tumpang tindih sampai pada taraf tertentu.

Teori-Teori Inteligensi
Dari beberapa pendekatan melahirkan teori-teori inteligensi, misal yang dikemukakan oleh :
  1. Binet, bahwa inteligensi merupakan faktor tunggal dan karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan
  2. Thorndike: inteligesi adalah kemampuan abstraksi, mekanik dan sosial
  3. Spearman: inteligensi terdiri dari kemampuan umum (g factor) dan kemampuan khusus (s factor)
  4. Thurstone & Thurstone: inteligensi terdiri dari enam unsur kemampuan,yaitu 1)verbal, 2) Numerik; 3)Spasial; 4)Word Fluency; 5) Memori; 6) Reasoning
  5. Guilford: mengemukakan model SOI (Structure Of Intellect) yang digambarkan dalam bentuk kubus. Inteligensi terdiri dari tiga dimensi, yaitu isi, operasi, dan produk. Isi menunjuk pada tipe informasi yang meliputi figural, simbolik, semantik dan behavioral. Operasi menunjuk pada cara pemrosesan informasi, meliputi kognisi, memori, produksi konvergen, produksi divergen dan evaluasi. Produk menunjuk pada hasil pemrosesan yang dilakukan oleh dimensi operasi terhadap isi informasi, meliputi unit, kelas, relasi, sistem, transformasi dan implikasi.
  6. Howard Gardner: mengemukakan teori inteligensi ganda (multiple intelligence); bahwa kita memiliki tujuh macam kecerdasan yang satu sama lain relatif independent, yaitu inteligensi musik, kinesthetik, logika-matematika, bahasa, spasial, interpersonal dan intrapersonal.
  7. Sternberg: mengemukakan Teori Inteligensi Triarkhis; bahwa ada tiga aspek utama dalam inteligensi, yaitu componential, experiential, dan contextual. Aspek komponen berfokus pada komponen mental yang terllibat dalam analisa informasi untuk memecahkan masalah. Sebaliknya, aspek pengalaman berfokus pada bagaimana pengalaman seseorang mempengaruhi inteligensi dan bagaimana menggunakan pengalaman masa lalunya  tersebut untuk problem solving. Aspek kontekstual menunjuk pada tingkat keberhasilan seseorang dalam menghadapi tuntutan lingkungan sehari-hari.

Pengukuran Inteligensi
Pengukuran inteligensi menghasilkan skor yang disebut IQ (Inteligence Quotient). Hal ini dipelopori oleh Binet yang menciptakan tes inteligensi formal yang pertama. Binet merancang tes tersebut untuk mengidentifikasi murid-murid yang bodoh di sekolah-sekolah Paris untuk diberikan bantuan remedial. Binet memulainya dengan memberikan tugas-tugas pada siswa-siswa yang seusia yang telah dilabel bodoh dan pintar oleh guru-guru mereka. Jika satu tugas hanya dapat diselesaikan dengan baik oleh murid yang pintar saja, dia menetapkan tugas tersebut layak untuk dijadikan item tes. Pada akhirnya dia berhasil menyusun alat tes yang mampu membedakan anak yang pintar dengan yang bodoh, bahkan lebih lanjut dapat membedakan kemampuan anak-anak dari kelompok usia yang berbeda.
Skor inteligensi yang diperoleh menggunakan rumus:
IQ = MA / CA x 100
MA: Mental Age, yaitu rerata usia anak didasarkan pada kemampuan mengerjakan seluruh soal tes.
 CA: Chronological Age, yaitu usia anak berdasar kalender.
Perkembangan selanjutnya, untuk menentukan IQ seseorang dengan melihat seberapa besar penyimpangan dari rerata (Standard Deviation)
Persoalan dalam pengukuran inteligensi
Tes inteligensi banyak dikritik karena dianggap bias budaya; bahwa tes inteligensi yang disusun lebih berdasarkan populasi kulit putih kelas menengah ke atas. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan disusunnya tes inteligensi bebas budaya (Culture Fair Inteligence Test). Namun demikian penyusunan tes inteligensi yang bebas budaya juga sulit bahkan tidak mungkin karena individu dari kelompok budaya yang berbeda mempunyai konsep yang berbeda pula mengenai kecerdasan.
Selain persoalan bias budaya, tes inteligensi yang ada sampai saat ini belum mampu mengukur semua kemampuan yang ada pada manusia. Tes-tes yang pernah disusun hanya mengukur sebagian kemampuan saja.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi IQ
Skor IQ dapat berubah karena berbagai sebab. Perubahan terjadi karena alasan teknis yang berhubungan dengan konstruksi tes. Namun demikian, pada kasus lain, perubahan IQ kemungkinan mencerminkan perubahan riel dari kemampuan yang dinilai. Skor kadang berubah karena ada perubahan-perubahan besar dalam kehidupan, seperti penyakit atau pertikaian keluarga. Karena tidak semua anak bereaksi secara sama terhadap pengalaman yang penuh stress, maka sulit menilai pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut terhadap inteligensi.
Perubahan dalam IQ juga berhubungan dengan faktor kepribadian, dimana agresivitas, kemandirian dan kompetisi merupakan karakter yang menonjol pada anak-anak yang menunjukkan kenaikan IQ bila dibandingkan dengan anak yang menurun IQnya.
Terkait dengan gender, tidak ada perbedaan IQ pada kemampuan umum. Tetapi untuk kemampuan khusus, perempuan lebih baik dalam tugas-tugas verbal. Sementara itu,  laki-laki lebih baik dalam mengerjakan tugas-tugas numerik dan spasial. Sumber perbedaan itu kemungkinan lebih karena budaya yang mencerminkan perbedaan cara mengasuh anak dan perbedaan harapan terhadap kemampuan yang harus dicapai oleh masing-masing jenis kelamin. Sebagai pendukung dari penafsiran ini, sifat yang berhubungan dengan naiknya IQ dan dengan kesuksesan memecahkan masalah adalah sifat-sifat yang dianggap maskulin dalam budaya Barat.
Ada beberapa studi pengaruh deprivasi sosial terhadap IQ tetapi hasilnya sulit diinterpretasi. Tidak semua anak yang ada dilingkungan yang terdeprivasi  menunjukkan defisit IQ. Kesulitan juga muncul dalam menspesifikasi aspek deprivasi sosial mana yang penting, yaitu apakah kualitas sosial pengasuhan ibu, aspek sensoris dari stimulasi, timing input, dan lain-lain. Akhirnya, andaikata karakter sesungguhnya dari komponen deprrivasi diketahui, tetap tidak diketahui apakah pengaruh deprivasi itu reversibel.
Ada hubungan moderat antara status sosial ekonomi dengan IQ. Tiga hipotesis yang menjelaskan hubungan ini adalah: 1). Kemungkinan adanya bias budaya dalam tes; bahwa tes yang disusun lebih menguntungkan individu yang berasal dari kelas menengah ke atas. 2). Perbedaan lingkungan antar status sosial ekonomi. 3). Perbedaan genetik. Tampaknya ada kecenderungan bahwa ketiga faktor itu penting sampai pada tingkat tertentu. Harus ditekankan bahwa hubungan IQ dengan status sosial ekonomi hanya moderat dan bahwa individu baik yang berIQ tinggi maupun rendah dapat ditemukan pada status sosial ekonomi manapun.
Selanjutnya adalah faktor herediter. Dasar fisik bagi berfungsinya inteligensi ditemukan pada materi genetis yang mengarahkan perkembangan sistem syaraf. Studi kemiripan IQ pada kembar identik, kembar fraternal dan saudara kandung lainnya menunjukkan bahwa baik faktor keturunan dan kondisi lingkungan mempengaruhi inteligensi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar