INTELIGENSI
Pengertian
Inteligensi memiliki makna yang
berbeda-beda tergantung pada konteks budaya/lingkungan. Stenberg meneliti
konsep inteligensi menurut orang awam adalah kemampuan problem solving,
kemampuan verbal dan kompetensi sosial. Pengertian yang diambil oleh para
psikolog: inteligensi adalah kemampuan untuk memahami dunia sekitar, berpikir
rasional, dan menggunakan sumber daya secara efektif ketika menghadapi
tantangan (Wechsler, 1975). Ini adalah definisi yang paling sering digunakan.
Pendekatan
Untuk memahami hakekat inteligensi, perlu memahami
pendekatan umum:
- Pendekatan
belajar
pendekatan ini lebih menekankan pada
perilaku yang tampak. Bahwa inteligensi bukan sifat kepribadian tetapi
merupakan kualitas hasil belajar. Perilaku yang inteligen adalah yang berisi
proses belajar pada level fungsional tingkat tinggi
- Pendekatan
biologi
inteligensi memiliki dasar anatomis
dan biologis. Perilaku yang dapat ditelusuri dari dasar-dasar neuro-anatomis
dan proses neurofisiologisnya. Misal membandingkan otak orang biasa dengan otak
orang cerdas. Hasilnya ditemukan bahwa ada “brain efficiency”, yaitu otak yang
efisien memiliki banyak asosiasi antara neuron satu dengan yang lain, mengalami
pemangkasan pada cabang-cabang neuron yang tidak diperlukan, aksonnya lebih
besar dan myelin yang melapisinya lebih tebal
- Pendekatan
psikometri
inteligensi merupakan suatu konstruk
hipotetis. Misal inteligensi dirumuskan sebagai kemampuan umum terutama yang berkaitan dengan ingatan dan
penalaran dalam mempelajari dan menghadapi masalah baru. Pendekatan ini
melahirkan tes-tes psikologi sehingga lebih bersifat kuantitatif
- Pendekatan
perkembangan
pendekatan perkembangan lebih
menekankan perkembangan inteligensi secara kualitatif dalam kaitannya dengan
tahap-tahap perkembangan biologis individu. Tokohnya antara lain Piaget yang
melihat adanya perbedaan kualitatif dalam cara berpikir anak pada masing-masing
kelompok usia.
Ke-empat pendekatan di atas tidak terpisah secara
eksklusif akan tetapi saling tumpang tindih sampai pada taraf tertentu.
Teori-Teori Inteligensi
Dari beberapa pendekatan melahirkan teori-teori
inteligensi, misal yang dikemukakan oleh :
- Binet, bahwa
inteligensi merupakan faktor tunggal dan karakteristik yang terus
berkembang sejalan dengan proses kematangan
- Thorndike:
inteligesi adalah kemampuan abstraksi, mekanik dan sosial
- Spearman:
inteligensi terdiri dari kemampuan umum (g factor) dan kemampuan khusus (s
factor)
- Thurstone &
Thurstone: inteligensi terdiri dari enam unsur kemampuan,yaitu 1)verbal,
2) Numerik; 3)Spasial; 4)Word Fluency; 5) Memori; 6) Reasoning
- Guilford:
mengemukakan model SOI (Structure Of Intellect) yang digambarkan dalam
bentuk kubus. Inteligensi terdiri dari tiga dimensi, yaitu isi, operasi,
dan produk. Isi menunjuk pada tipe informasi yang meliputi figural,
simbolik, semantik dan behavioral. Operasi menunjuk pada cara pemrosesan
informasi, meliputi kognisi, memori, produksi konvergen, produksi divergen
dan evaluasi. Produk menunjuk pada hasil pemrosesan yang dilakukan oleh
dimensi operasi terhadap isi informasi, meliputi unit, kelas, relasi,
sistem, transformasi dan implikasi.
- Howard Gardner:
mengemukakan teori inteligensi ganda (multiple
intelligence); bahwa kita memiliki tujuh macam kecerdasan yang satu
sama lain relatif independent, yaitu inteligensi musik, kinesthetik,
logika-matematika, bahasa, spasial, interpersonal dan intrapersonal.
- Sternberg:
mengemukakan Teori Inteligensi Triarkhis; bahwa ada tiga aspek utama dalam
inteligensi, yaitu componential,
experiential, dan contextual.
Aspek komponen berfokus pada komponen mental yang terllibat dalam analisa
informasi untuk memecahkan masalah. Sebaliknya, aspek pengalaman berfokus
pada bagaimana pengalaman seseorang mempengaruhi inteligensi dan bagaimana
menggunakan pengalaman masa lalunya
tersebut untuk problem solving. Aspek kontekstual menunjuk pada
tingkat keberhasilan seseorang dalam menghadapi tuntutan lingkungan
sehari-hari.
Pengukuran Inteligensi
Pengukuran inteligensi menghasilkan
skor yang disebut IQ (Inteligence
Quotient). Hal ini dipelopori oleh Binet yang menciptakan tes inteligensi
formal yang pertama. Binet merancang tes tersebut untuk mengidentifikasi
murid-murid yang bodoh di sekolah-sekolah Paris untuk diberikan bantuan
remedial. Binet memulainya dengan memberikan tugas-tugas pada siswa-siswa yang
seusia yang telah dilabel bodoh dan pintar oleh guru-guru mereka. Jika satu
tugas hanya dapat diselesaikan dengan baik oleh murid yang pintar saja, dia
menetapkan tugas tersebut layak untuk dijadikan item tes. Pada akhirnya dia berhasil
menyusun alat tes yang mampu membedakan anak yang pintar dengan yang bodoh,
bahkan lebih lanjut dapat membedakan kemampuan anak-anak dari kelompok usia
yang berbeda.
Skor inteligensi yang diperoleh menggunakan rumus:
IQ = MA / CA x 100
MA: Mental Age, yaitu rerata usia anak didasarkan pada kemampuan
mengerjakan seluruh soal tes.
CA: Chronological Age, yaitu usia anak
berdasar kalender.
Perkembangan selanjutnya, untuk menentukan IQ
seseorang dengan melihat seberapa besar penyimpangan dari rerata (Standard Deviation)
Persoalan dalam pengukuran inteligensi
Tes inteligensi banyak dikritik karena
dianggap bias budaya; bahwa tes inteligensi yang disusun lebih berdasarkan
populasi kulit putih kelas menengah ke atas. Upaya yang dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan disusunnya tes inteligensi bebas budaya (Culture Fair Inteligence Test). Namun
demikian penyusunan tes inteligensi yang bebas budaya juga sulit bahkan tidak
mungkin karena individu dari kelompok budaya yang berbeda mempunyai konsep yang
berbeda pula mengenai kecerdasan.
Selain persoalan bias budaya, tes
inteligensi yang ada sampai saat ini belum mampu mengukur semua kemampuan yang
ada pada manusia. Tes-tes yang pernah disusun hanya mengukur sebagian kemampuan
saja.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi IQ
Skor IQ dapat berubah karena berbagai
sebab. Perubahan terjadi karena alasan teknis yang berhubungan dengan
konstruksi tes. Namun demikian, pada kasus lain, perubahan IQ kemungkinan
mencerminkan perubahan riel dari kemampuan yang dinilai. Skor kadang berubah
karena ada perubahan-perubahan besar dalam kehidupan, seperti penyakit atau
pertikaian keluarga. Karena tidak semua anak bereaksi secara sama terhadap
pengalaman yang penuh stress, maka sulit menilai pengaruh peristiwa-peristiwa
tersebut terhadap inteligensi.
Perubahan dalam IQ juga berhubungan
dengan faktor kepribadian, dimana agresivitas, kemandirian dan kompetisi
merupakan karakter yang menonjol pada anak-anak yang menunjukkan kenaikan IQ
bila dibandingkan dengan anak yang menurun IQnya.
Terkait dengan gender, tidak ada
perbedaan IQ pada kemampuan umum. Tetapi untuk kemampuan khusus, perempuan
lebih baik dalam tugas-tugas verbal. Sementara itu, laki-laki lebih baik dalam mengerjakan
tugas-tugas numerik dan spasial. Sumber perbedaan itu kemungkinan lebih karena
budaya yang mencerminkan perbedaan cara mengasuh anak dan perbedaan harapan
terhadap kemampuan yang harus dicapai oleh masing-masing jenis kelamin. Sebagai
pendukung dari penafsiran ini, sifat yang berhubungan dengan naiknya IQ dan
dengan kesuksesan memecahkan masalah adalah sifat-sifat yang dianggap maskulin
dalam budaya Barat.
Ada beberapa studi pengaruh deprivasi
sosial terhadap IQ tetapi hasilnya sulit diinterpretasi. Tidak semua anak yang
ada dilingkungan yang terdeprivasi menunjukkan
defisit IQ. Kesulitan juga muncul dalam menspesifikasi aspek deprivasi sosial
mana yang penting, yaitu apakah kualitas sosial pengasuhan ibu, aspek sensoris
dari stimulasi, timing input, dan lain-lain. Akhirnya, andaikata karakter
sesungguhnya dari komponen deprrivasi diketahui, tetap tidak diketahui apakah
pengaruh deprivasi itu reversibel.
Ada hubungan moderat antara status
sosial ekonomi dengan IQ. Tiga hipotesis yang menjelaskan hubungan ini adalah:
1). Kemungkinan adanya bias budaya dalam tes; bahwa tes yang disusun lebih
menguntungkan individu yang berasal dari kelas menengah ke atas. 2). Perbedaan
lingkungan antar status sosial ekonomi. 3). Perbedaan genetik. Tampaknya ada
kecenderungan bahwa ketiga faktor itu penting sampai pada tingkat tertentu.
Harus ditekankan bahwa hubungan IQ dengan status sosial ekonomi hanya moderat
dan bahwa individu baik yang berIQ tinggi maupun rendah dapat ditemukan pada
status sosial ekonomi manapun.
Selanjutnya adalah faktor herediter.
Dasar fisik bagi berfungsinya inteligensi ditemukan pada materi genetis yang
mengarahkan perkembangan sistem syaraf. Studi kemiripan IQ pada kembar identik,
kembar fraternal dan saudara kandung lainnya menunjukkan bahwa baik faktor
keturunan dan kondisi lingkungan mempengaruhi inteligensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar